Desember di Taiwan. Adalah musim di mana aku harus bergelut dengan hawa dingin. Memakai kaus kaki lebih dari satu, jaket setebal bulu-bulu domba dan syal tebal pun wajib aku kenakan. Pada bulan ini, tidak ada seorang pun sanggup memakai baju lengan pendek menurutku. Namun lain halnya dengan Chan Ma. Wanita tua yang malang, hidup sendirian, dan bergelut menikmati demensianya yang setiap detik menggerogoti otak dan pikiran. Chan Ma adalah seorang nenek bertubuh pendek kira-kira 150cm, berkulit putih khas china, berbadan sangat gemuk dengan kedua bola mata kecoklatan, ditambah rambut putih sebahu bak hamparan salju di Gunung Fuji, Jepang. Ia pandai berdandan, mulai dari warna baju, celana dan syal pun harus senada. 
 ![image](https://img.esteem.ws/oh72ttqq70.jpg)

Hari ini aku melihat ramalan cuaca bakal ada hujan, ditambah hawa yang menunjukan angka 10°C, sudah dipastikan akan sangat dingin. Chan Ma tetap ngotot ingin pakai kaos pendek tipis warna merah cerah. Sebenarnya tak mengapa, namun aku takut dia kedinginan dan sakit. Dia mulai ngoceh mencari alasan, dan aku hanya mampu pasrah, mengalah.
Aku adalah gadis biasa saja, yang sedang berjuang di Formosa karena cita-cita. Aku berasal dari Malang, Jawa Timur. Sebuah propinsi di sebelah timur Pulau Jawa. Banyak orang di luar sana mengira aku adalah remaja umur belasan tahun. Mungkin karena tubuhku yang pendek dengan kedua pipiku yang hampir mirip bolu Taiwan. Namaku Susi.

"Susi a, hari ini aku mau pakai baju merah ini, pemberian mendiang suamiku. Tadi malam dia datang, marah-marah dan mau mencekik leherku, mungkin dia rindu padaku. Lalu pergi, tidak pamit." Katanya sambil berdiri di depan cermin, bersolek.

Ini bukan pertama kali dia selalu bilang seperti itu, bahkan dulu aku sempat minta pindah kerja gara-gara Chan Ma selalu membahas almarhum suamiya. Jujur aku sangat takut. Suaminya adalah seorang veteran, meninggal sepuluh tahun yang lalu. Chan Ma hanya mempunyai seorang anak perempuan, ia tinggal jauh dari tempat ini. Chan Ma dan aku tinggal di Taipei dan anaknya di Tainan, sebuah wilayah sebelah selatan Negara Taiwan. Akhirnya aku pun membiarkan ia mengenakan kaos merah itu. Biarlah, yang penting Chan Ma tidak marah. 

Pagi ini dia telat bangun. Biasanya jam 6 pagi dia sudah berteriak bertengkar dengan anjing kesayangannya, dia memanggil anjing itu Siao Pai. Dia selalu bercerita, jika Siao Pai mampu merasakan kehadiran makhluk halus. Namun aku selalu tak mempercayai itu, peduli pun aku tidak. Ini sudah pukul 8 pagi, ia tak kunjung bangun, aku beranikan diri membangunkannya walau pun aku tahu dia akan sangat marah.

"Chan Ma, bangun. Ini sudah pukul 8 pagi, ayo sarapan." Kulirihkan suaraku sepelan mungkin.
Dia membuka selimutnya. Ternyata dia tidak tidur, ia sepertinya sedang melafalkan bacaan yang aku pun tak paham artinya, sambil mengelus-elus Siao Pai.

"Aku tidak berani bangun. Tadi malam dia datang lagi. Dia marah lagi, dia menyuruhku mati." Ucapnya dengan  muka pucat pasi.

"Ada aku di sini, jangan takut. Ayo aku bantu bangun.' Ucapku sambil memapah dia bangun.

Dia? Siapa dia yang selalu disebut-sebut Chan Ma? Apakah suaminya? Ataukah hanya mimpi bagi para demensia saja. Aku sungguh tak mengerti dengan dunia yang ia jalani. Sudah tiga hari ini Chan Ma selalu bertingkah aneh. Ia selalu ketakutan di pagi hari. Hari demi hari Chan Ma selalu bercerita tentang 'dia' yang ada di mimpinya. Aku sungguh lelah sekali masuk dalam dongeng yang ia ciptakan sendiri.

"Susi a, tadi malam dia datang lagi. Ternyata dia bukan suamiku. Apakah dia kekasihmu? Setelah gagal mencekikku, dia mendekatimu, mengusap lembut rambutmu, lalu pergi . Kamu harus jujur. Siapa lelaki itu ...!!" Bentaknya.
 ![image](https://img.esteem.ws/6iacvi7y6r.jpg)
Sumber photo: https://goo.gl/images/9NzCy6

Tuhan, apalagi ini? Teka teki tentang arwah suami nya datang pun belum terjawab. Sekarang menuduhku punya kekasih. Tapi aku berusaha tenang, aku tanamkan dalam pikiranku jika Chan Ma adalah orang pikun. Mungkin dengan begitu cukup untuk menenangkanku sendiri. Namun celakanya ia  menelpon anaknya. Chan Ma mengadu jika aku membawa lelaki pulang ke rumah. Sungguh ini tak bisa aku diamkan. Siang harinya, ketika Chan Ma tertidur di ruang TV, aku beranikan diri telpon anaknya, kuceritakan semuanya. Aku memanggilnya Chan Cece.

"Cece, aku takut kalau Chan Ma selalu seperti ini. Aku juga takut anda tak mempercayaiku", kataku penuh iba.

"Sudahlah, kita tahu penyakitnya. Paham wataknya, biarkan dia berkata apa pun, penting aku percaya kamu." Chan Cece mejawab dengan tenang.

Aku memang sudah hampir 8 tahun menjaga Chan Ma, mungkin juga anaknya sudah tidak percaya lagi dengan ocehan Chan Ma. Kadang aku sendiri yang merasa lelah. Ya, 8 tahun bukan waktu yang sebentar. Terkadang pun aku ingin pulang. Kadang juga tak tega melihat Chan Ma seperti ini. Tapi aku selalu teringat kata-kata ayahku.

"Pulanglah, anakku. Pulanglah. Ayah tak mau uangmu, hartamu. Ayah hanya mau kamu menemani hidup ayah sama ibu. Sudah cukup kamu merantau." Kata- kata ayah kembali terngiang dalam ingatan.

"Aku pasti pulang, Yah. Tapi nunggu nenek yang kujaga meninggal. Karena dia sendirian," jawabku sekenanya.

"Lalu ayah? Tidakkah kamu punya keinginan pulang, merawat ayah sampai meninggal?"
Pertanyaan terakhir ayah bagaikan sambaran petir di siang hari. Dan itu sangat menyakitkan.

Pagi ini, pukul 05.00. Chan Ma berteriak. Ia minta tolong, dengan sigap aku bangunkan dia. Tenangkan dia. Siao Pai pun ikut menggonggong tak karuan. Ada apa ini? Hatiku berdebar, pikiranku kacau. Antara takut, kaget, dan juga bingung.

"Ada apa?" Tanyaku

"Dia datang. Dia minta anaknya, aku tidak pernah mencuri anak, aku tidak mengambil anak orang. Anakku cuma satu, aku bukan pencuri," Chan Ma menangis.

Aku takut, aku pun ikut memangis. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Siao Pai, anjing kecil itu terus menggonggong sampai matahari meninggi. Aku bangun, kubiarkan Chan Ma tidur, kasihan. Wanita tua yang malang. 
Hampir 7 hari rumah ini penuh drama dengan yang disebut 'dia' siapa 'dia'. Arwah suaminya kah? Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Aku pun menelpon Chan Cece lagi, semua kuceritakan. Chan Cece menyarankan kasih Chan Ma obat tidur saja. Akhirnya aku pun menurut. Setiap pukul 8 malam kukasih Chan Ma obat tidur, meskipun dulu dokter mengatakan jika obat tidur itu tidak baik untuk Chan Ma. Pukul 9 malam ia pun sudah minta tidur. Jam 6 pagi bangun tanpa menyebut 'dia' lagi. Syukurlah, mungkin memang itu cuma mimpi para demensia.
Hari ini cuaca sangat cerah, aku mengajak Chan Ma jalan-jalan di taman dekat rumah. Sambil duduk di taman, aku membuka HP ku. Kulihat potret ayahku dalam galery HP ku. Ayah yang selalu kurindukan, dan selalu menagih janji untuk aku segera pulang. Wajah yang hitam legam, karena terbakar sengatan matahari di kampung halaman. Mata yang redup dan mulai sayu karena di makan usia, beban hidup bersembunyi di antara senyum yang entah bermakana apa. Gambaran sosok pekerja keras, mencari nafkah untuk anak-anaknya dulu.

"Lelaki ini! Kenapa di HP mu! Singkirkan dia! Buang wajah itu! Buang ...!!!" Chan Ma meraih HP ku dan membantingmya di lantai. Untung lantai itu banyak rumput, HP ku selamat.

"Ada apa?!" Sahutku setengah membentak.

"Lelaki itu yang selalu menyuruhku mati, lelaki itu yang selalu datang, dia yang mencekikku berkali-kali, dia yang selalu mengusap rambutmu lalu pergi. Dia yang menyuruhku memgembalikan anaknya. Susi, kamu bohong padaku, kamu bilang tidak kenal lelaki itu.  Bilang padanya, akan kulaporkan pada polisi ...!!" Chan Ma berteriak sejadi-jadinya.

Aku terduduk lemas, bersimpuh di antara dingin udara di Bulan Desember. Aku menangis histeris di atas hamparan rumput yang penuh aroma kencing anjing di taman itu. Aku tergugu seakan dunia telah hancur. Dia? Dia yang selalu disebut Chan Ma adalah ayahku, benarkah? Dia ayahku yang selalu memaksaku pulang. Namun selalu kujawab menunggu Chan Ma meninggal baru pulang. Hingga akhirnya ayahku yang duluan pulang kembali pada Tuhan, pulang pada keabadian. Dia? Ayahku yang telah pergi ke syurga 50 hari yang lalu.


***
"Kamu yakin mau pulang bulan depan? Kenapa? Karena nenek?" Chan Cece bertanya padaku setelah aku putuskan untuk break kontrak dan pulang. 

"Tidak, aku pulang karena ingin merawat ibu. Ayahku meninggal 2 bulan yang lalu, aku tak mau ibuku sendirian. Jadi aku ingin pulang. Chan Ma adalah nenek yang baik, aku pasti akan selalu merindukannya, jika ada waktu aku pasti menelponnya." Jawabku memantabkan niat dan tekad untuk pulang.

***
Dan untukmu Ayah, aku pulang. Walaupun terlambat. Aku pulang, meski nanti hanya batu nisan mu yang kujumpai. Tapi bakti dan rindu padamu tak akan pernah  hilang. Dan terimakasih selama 7 hari ini selalu datang menjengukku. Walaupun itu sangat menyiksa Chan Ma. 
Beristirahatlah dengan tenang di surga. Anakmu akan pulang. Ayah ... maafkan aku, atas keterlambatan pulangku.
 ![image](https://img.esteem.ws/y7x0pwbuen.jpg)
Sumber photo: https://goo.gl/images/x2UHi9

Taiwan, 14 Juli 2018
@jassy